DISKUSIKEHIDUPAN.com - Kemampuan anak-anak kita itu seluas samudra. Sayangnya, banyak orangtua, guru, dan bahkan sistem pendidikan mereduksi kemampuan anak hingga samudra itu berubah menjadi selokan-selokan kecil. Munif Chatib, penulis buku Orangtuanya Manusia (Kaifa:2012), mengajak para orangtua untuk memahami makna kemampuan anak melalui cerita. Munif menceritakan tiga peristiwa berkaitan dengan proses pembelajaran anak. Melalui cerita-cerita tersebut, orangtua diminta menentukan peristiwa yang sesuai dengan kemampuan anak. Berikut adalah tiga cerita tersebut:
- Anak Anda senang dan rajin sekali berangkat ke sekolah sehingga selalu dapat tepat waktu. Di sekolah, dia menjadi anak yang disukai teman-teman, juga guru-gurunya karena murah senyum, suka membantu teman yang kesulitan, dan sangat peduli terhadap orang lain yang dipandang sedang punya masalah. Pada saat proses belajar di kelas, dia sangat memperhatikan guru saat mengajar dan selalu menjaga antusiasmenya dalam mengikuti pelajaran. Walhasil, sebutan anak Anda ini adalah anak baik. Pertanyaannya: apakah dengan gambaran tersebut orangtua menyebut anaknya sebagai “anak pandai” atau “anak pintar”? Kebanyakan menjawab TIDAK atau BELUM.
- Anak Anda suka sekali jika diberi kesempatan: tampil bermain musik atau membaca puisi, membongkar pasang sesuatu, membuat sesuatu produk baru, menggambar atau melukir, melantunkan ayat-ayat al Quran dengan suaranya yang indah, atau membuat masakan lezat. Walhasil, sebutan anak Anda adalah anak kreatif, memiliki keterampilan, dan berani tampil. Pertanyannya: apakah dengan kemampuan tersebut orangtua menyebut dia sebagai “anak pandai” atau “anak pintar”? Kebanyakan menjawab TIDAK tau BELUM.
-
Anak Anda mendapat nilai 9 atau 10 di rapornya untuk bidang studi
matematika, IPA, atau Bahasa Inggris, dan dia pun menempati peringkat kesatu
di kelasnya. Bagaimana perasaan Anda sebagai orangtua? Bangga bukan? Jika
saya tanya, apakah anak yang mendapat nilai seperti itu dapat disebut “anak
pandai” atau “anak pintar”? Pasti serempak semua orangtua akan menjawab YA …
ANAK PINTAR!
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, Munif melanjutkan dengan memberikan narasi
bahwa orang tua mungkin tidak akan langsung mengatakan “anak pintar” jika
bidang studi dengan nilai 9 dan 10 adalah agama, Bahasa Indonesia, atau
kesenian. Artinya, banyak orangtua masih memiliki paradigma kastanisasi bidang
studi. Hal ini bisa terjadi hingga tingkat SMA. Jika anak memasuki jurusan
IPA, biasanya ada kebanggaan dari orangtuanya. Sebaliknya, jika anak memasuki
jurusan IPS, biasanya “kebanggan” itu berubah menjadi “kebimbangan” karena
jurusan IPS masih dianggap akan mengalami “madesu” alias masa depan suram
kelak.
Tiga peristiwa yang diceritakan oleh Munif Chatib di atas,
dapat kita hubungkan dengan teori psikologi perkembangan anak, bahwa kemampuan
anak yang sangat luas terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu psikoafektif,
psikomotorik, dan psikokognitif. Prof. Dr. Nasution, MA., memberikan
penjelasan menarik tentang kemampuan belajar seseorang yang cukup
komprehensif. Ia menjelaskan bahwa kemampuan belajar anak atau peserta didik
dikatakan sempurna jika memenuhi tiga aspek kemampuan berikut ini :
1. Aspek Kemampuan Afektif
Aspek kemampuan yang berkaitan dengan nilai dan sikap. Penilaian pada aspek
ini dapat dilihat antara lain pada kedisiplinan atau sikap hormat terhadap
guru. Aspek afektif ini berkaitan erat dengan kecerdasan emosi (EQ) anak.
2. Aspek Kemampuan Psikomotorik
Aspek kemampuan yang berkaitan dengan kemampuan gerak fisik yang mempengaruhi
sikap mental. Aspek ini menunjukkan kemampuan atau keterampilan (skill) anak
setelah menerima sebuah pengetahuan.
3. Aspek Kemampuan Kognitif
Aspek kemampuan yang berkaitan dengan kegiatan berfikir. Aspek ini sangat
berkaitan dengan inteligensi (IQ) atau kemampuan berpikir anak. Sejah dahulu,
aspek kognitif selalu menjadi perhatian utama dalam sistem pendidikan formal.
Ini dapat dilihat dari metode penilian pada sekolah-sekolah di negeri kita
dewasa ini yang sangat mengedepankan kesempurnaan aspek kognitif.
Aspek-aspek
kemampuan anak di atas dapat kita hubungkan dengan tiga peristiwa sebelumnya.
Artinya, peristiwa pertama adalah seorang anak baik yang memiliki kemampuan
afektif, peristiwa kedua adalah anak yang punya keterampilan, kreatif, dan
berani tampil sebagai anak dengan kemampuan psikomotorik, dan peristiwa
kegita, yaitu anak yang punya nilai tinggi pada rapornya adalah anak dengan
kemampuan kognitif.
Mestinya, orangtua memandang kemampuan anak
dengan landasan paradigma bahwa kemampuan anak kita seluas samudra. Artinya
anak memiliki tiga aspek kemampuan: afektif, psikomotorik, dan kognitif. Jika
akan memiliki kekuatan pada salah satu aspek kemampuan tersebu, sudah cukup
untuk dikatakan sebagai anak yang mampu, pandai, pintar, dan cerdas.
Anak
memiliki kemampuan seluas samudra. Kemampuan kognitif yang menghasilkan daya
pikir positif, kemampuan psikomotorik yang menghasilkan karya bermanfaat dan
penampilan yang dahsyat, serta kemampuan afektif yang menghasilkan nilai dan
karakter yang manusiawi sesuai fitrahnya.
Para orangtua harus
membangun paradigma bahwa kemampuan anak itu seluas samudra. Jika anak
memiliki respon yang peka terhadap lingkungan, kepedulian tinggi terhadap
sesame, atau sangat menghargai orang lain, maka cukuplah menyebutnya sebagai
anak yang pandai, pintar, atau mampu, meskipun kemampuan tersebut tidak ada
ujian nasionalnya.
Juga, apabila anak kreatif, tidak bisa diam,
selalu bergerak, dan suka sekali menampilkan kemampuan psikomotoriknya, maka
cukuplah mengatakannya sebagai anak yang pandai, pintar, atau mampu, meskipun
kemampuan tersebut tidak ada ujian nasionalnya.
Yang banyak
terjadi, orangtua menganggap anak yang pandai terjebak hanya dalam satu aspek,
yaitu kognitif. Belum lagi, aspek kognitif itu juga diartikan sempit, dimana
anak yang mampu mengerjakan soal-soal di atas kertas untuk bidang studi ilmu
pengetahuan alam. Paradigma yang “menuhankan” kognitif ini juga dijunjung
tinggi oleh sistem pendidikan kita, antara lain ditandai dengan keberadaan
ujian nasional yang bersifat sangat kognitif. Selanjutnya, hasil ujian
nasional itu dianggap sebagai symbol kepandaian dan keberhasilan belajar.
0 Comments
Ada pertanyaan atau saran tentang website ini, tulis komentarmu di sini: