Subscribe Us

Media dan Dampaknya Bagi Umat, Kritik Media oleh KH. MA. Sahal Mahfudh



Media Dan Dampaknya Bagi Umat

HMA. SAHAL. MAHFUDH

Makalah disampaikan pada seminar nasional “MEDIA DAN MASA DEPAN BANGSA” Lembaga Pemantau Media Semarang, 25 Mei 2005, dari Buku Kumpulan Makalah KH. Sahal Mahfudh.

Media massa mulai dari media cetak yang bersifat visual sampai media elektronik dan media yang bersifat audio visual merupakan bagian terpenting dalam proses globalisasi dan transformasi masyarakat. Sebagai bagian terpenting, media sudah memasuki hampir seluruh ruang kehidupan masyarakat. Dan seperti laiknya air yang selalu tersedia di berbagai tempat, media juga tersedia dimana-mana, di rumah, di tempat kerja, di tempat-tempat perbelanjaan, di kamar-kamar kos bahkan di setiap saku atau pinggang dalam bentuk HP atau PDA.

BACA JUGA : Menstimulasi 5 Dimensi Perkembangan Anak dengan Membacakan Cerita Dongeng

Media-media itu kesemuanya memiliki manfaat yang amat besar bagi hidup dan kehidupan. Media memungkinkan sesorang untuk mengikuti, memantau bahkan mengendalikan satu keadaan tertentu dibelahan bumi yang lain hanya dengan duduk di depan pesawat radio, televisi, internet, dan telephon. Media-media itu juga menjadi tempat sharing, mengumpulkan dan menjaring berbagai macam pendapat dan aspirasi dalam satu acara live show dimana semua orang dapat mengakses dan berpendapat secara bebas di dalamnya. Lewat media pula segala pemikiran dan kemajuan ilmu pengetahuan diulas, diekspos, diinformasikan, dan dikembangkan. Dengan demikian media menjadi ruang publik yang menjadi sarana komunikasi dan percepatan informasi yang amat efektif bagi ide-ide pengembangan dan transformasi masyarakat. Pendeknya media amat penting dan bermanfaat, tanpa media agaknya masyarakat akan terhambat dalam perkembangannya, menjadi terasing dan terisolir dari kehidupan itu sendiri.

BACA JUGA : Harus Memberikan Hukuman Pada Anak? Perhatian Prisip ini!

Tetapi selain manfaat yang begitu besar, media pada sisi yang lain juga menyimpan potensi madlarat yang tak kalah besarnya bagi masyarakat ketika media tidak dikelola secara baik. Lewat media, budaya dan perilaku yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat mulai dikenalkan. Seperti yang bisa kita saksikan tiap hari, kemasannya dalam bentuk kolom-kolom dan gambar-gambar seks atau berbau seks, film atau sinetron yang menampilkan adegan-adengan kekerasan dalam keluarga, percekcokan dan kebiasaan kata-kata kasar, kedengkian, pamer harta dan status sosial, penampilan nyentrik yang semakin menjauh dari fungsinya, perselingkuhan, adegan berdarah-darah, pergaulan bebas anak-anak dan remaja, lebih lagi adegan-adegan pornografi dan pornoaksi yang mengeksploitasi seks dan sensualitas. Kesemuanya ditanyangkan dan dimuat secara rutin di hampir semua media tanpa terkecuali baik di media cetak, elektronik maupun medio. Dan melalui tayangan-tayangan seperti itu kanibalisme manusia disadari maupun tidak telah mulai dibangan, garis pemisah antara manusia berdasarkan kaya miskin dan status sosial semakin dipertegas, semakin jauh dari empati pada orang-rang lemah, pemicu-pemicu masalah sosial mulai dimunculkan dan secara rutin pula diajarkan pada masyarakat.

BACA JUGA : Mengelola Emosi Orangtua saat Bekerja Sekaligus Mendampingi Anak Belajar Dari Rumah

Tak pelak tayangan-tanyangan itu menjadi justifikasi bagi masyarakat atas perilaku-perilakunya yang menyimpang. Terutama bagi anak-anak dan remaja yang pada umumnya belum memiliki cukup pengetahuan dan pengalaman hidup sebagai filter bagi informasi, siaran dan tayangan yang didengar, dibaca dan dilihatnya sehingga sesuatu yang mestinya tidak layak mereka anggap sebagai hal yang wajar dan mereka telan mentah-mentah.


Sebagai akibatnya sekarang ini semakin dapat dirasakan bahwa kerukunan mulai pudar dan tercabik-cabik oleh kedengkian, pemerkosaan dimana-mana bahkan dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, kumpul kebo yang bahkan mulai dilakukan terang-terangan, pembunuhan anak terhadap orang tuanya atau sebaliknya orang tua terhadap anaknya. Atau anak-anak, remaja dan dewasa yang mencuri atau merampok demi penampilan dan gaya hidup artis idolanya sementara dia dan orang tuanya berada pada strata ekonomi yang pas-pasan. Semua itu adalah fenomena nyata yang sedang kita alami yang paling banyak diinspirasi oleh siaran dan tayangan media.

BACA JUGA : Memahami Cara Mendidik Anak di Era Digital Agar Tidak Salah Asuh

Barangkali media pula yang ikut mempopulerkan gaya hidup konsumerisme, gaya hidup mewah dan menterang, maunya dikenal sebagai orang kaya padahal kemampuannya tidak memadahi. Pemerintah orde baru telah melakukan pola konsumerisme ini dengan bergaya serba kecukupan dan serba ada tetapi tidak dari keringat sendiri melainkan dari utang yang tidak diimbangi dengan etos kerja yang tinggi. Selanjutnya terbukti bahwa pola hidup konsumerisme hanya mewariskan krisis ekonomi. Seharusnya hal ini menjadi cukup pengalaman tetapi kenyataanya media masih turut mempopulerkan pola hidup ini melalui program-program megapolisnya dengan setting tempat-tempat perbelanjaan besar dan rumah-rumah mewah. Masyarakat dibikin "ngiler" dengan pola hidup seperti itu padahal secara umum perekonomian masyarakat belum mencapai pada kemampuan seperti itu.


Jika dihubungkan dengan pendidikan, tayangan-tanyangan seperti itu sangat bertentangan dengan psikologi anak dan remaja, hakikat pendidikan serta fungsi dan tujuan pendidikan nasional dimana pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, arif, mandiri, dan menajdi warga negara yang demokratis serta tanggungjawab.

BACA JUGA : Tujuh Langkah Menjadi Orangtua Shalih Ala Abah Ihsan

Lebih jauh lagi jika anak-anak dan remaja merupakan generasi penerus masa depan bangsa maka dengan demikian media telah memberikan andil yang sangat besar dan paling dominan dalam membekali generasi muda dengan perilaku tidak semestinya dan merendahkan bahkan menjatuhkan martabat pendidikan atau akan martabat kemanusian itu sendiri melalui siaranya.


Patut disayangkan dan ironis sekali ketika tayangan-tanyangan seperti itu nyata diterima masyarakat bahkan menjadi acara favorit masyarakat ketimbang tayangan-tayangan lain yang lebih bermanfaat. Lebih disayangkan dan ironis lagi jika hal ini tidak disadari oleh pihak-pihak yang terkait dalam hal ini pengelola media, pemerintah, dan masyarakat itu sendiri sebagai pengguna media.

BACA JUGA : Mendidik Anak Berteman Dengan Buku

Siapa yang harus bertanggung jawab? Semua bertanggung jawab, masyarakat, juga terutama pengelola media dan pemerintah. Masyarakat tidak sekedar penonton yang mentah-mentah menerima suguhan media tetapi juga berperan sebagai juri yang menilai kemudian melakukan penolakan terhadap media yang abai terhadap aspek pendidikan dan sosial. Pengelola media hendaknya tidak hanya berorientasi bisnis semata, tidak hanya dikelola sebagai industri tetapi aspek-aspek pendidikan dan aspek-aspek sosial haruslah include dalam setiap program siaran atau rubrik-rubriknya. Perlu memang acara-acara hiburan menjadi satu menu media tetapi tentu saja porsi, waktu tayang dan segmen pemirsanya haruslah menjadi pertimbangan paling utama.


Dalam hal ini pemerintah paling bertanggung jawab karena pemerintahlah yang paling memiliki otoritas untuk melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap media melalui alat-alat negara dan legalitas perundang-undangan.

BACA JUGA : Lima Bahasa Cinta Anak, Orangtua Wajib Memahami

Ya, media massa ibarat pisau bermata dua, jika dikelola secara baik maka dia amat barmanfaat bagi hidup dan kehidupan tetapi jika tidak maka media juga menjadi senjata pemusnah masal paling ampuh karena bukan hanya jasmani yang diserangnya tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan. Yang mana akan kita pilih? tergantung kita semua.





Post a Comment

0 Comments