Subscribe Us

Gagal Baca Kita

Gagal Baca Kita

DISKUSIKEHIDUPAN.com – Di suatu kampung, para warga mendeklarasikan perang terhadap pemulung. Sebuah perang yang selayaknya kita sambut dengan sedih hati. Bagaimanapun pemulung adalah profesi yang harus dihormati dan didukung. Mereka adalah pendaur ulang sampah “bukan organik” yang besar jasanya. Tapi, saya jelas tidak mungkin membantah niat besar kampung karena di setiap lini profesi, ternyata selalu disusupi perusuhnya sendiri-sendiri, termasuk di dunia pemulung.



Selayaknya para pemulung di berbagai belahan daerah di antero negeri ini, perlengkapan pemulung ini khas: berselempang tas karung raksasa di pungungnya. Sekali waktu, ketika karung ini dibuka paksa oleh warga, terbuktilah kecurigaan warga. Di dalamnya tidak cuma ada sampah plastik dan kardus, tetapi juga ember, panci baru, dan malah ada sepatu! Dan, barang-barang itu bukanlah sampah maupun barang yang disampahkan oleh pemiliknya, sehingga mestinya tidak patut masuk dalam daftar sampah yang boleh diambil oleh pemulung.

BACA JUGA : Beasiswa Unggulan Untuk Putra-Putri Awak KRI Nanggala 402

Para warga kampung itu sudah sering mengeluh tentang sandal dan sepatu yang hilang, dan tentang jemuran yang raib. Maka, keputusan rapat desa tegas memutuskan: larangan bagi pemulung. Caranya bukan lalu menguber-ubernya, melainkan sekadar menuliskan tulisan larangan di mulut-mulut gang: PEMULUNG DILARANG MASUK. Ketika tulisan ini belum juga diwujudkan, rapat-rapat RT menjadi panas oleh protes ketidakpuasan. Tapi hebatnya, ketika tulisan ini telah terpasang para pemulung tetap saja berdatangan. Jadi, baik sebelum maupun sesudah pemasangan larangan itu keadaan kampung itu tetap seperti sedia kala. Para pemulung itu tetap lalu lalang seperti biasa.

Apa artinya? Pemulung itu pasti tidak membaca papan larangan tersebut. Tapi, apanya yang salah dari keadaan ini. Karena jangankan pemulung, kita sendiri pun memiliki tingkat gagal baca yang nyaris sempurna. Di jalan-jalan, tepat pada titik larangan berhenti, di situlah sopir-sopir omprengan malah biasa berhenti. Di tempat yang paling dilarang adalah titik favorit untuk mencari penumpang.

BACA JUGA : Keinginan Selalu di Sana dan Hidup Selalu di Sini

Jangankan sopir omprengan, guru pun banyak yang masih kedapatan gagal berlangganan koran, sepanjang koran masih bisa dipinjam. Mau membaca tanpa mau membeli, mau untung tanpa keluar biaya itulah kebiasaan kita. Jangankan guru yang masih boleh berdalih tentang cekaknya penghasilan, ada jenis pedagang yang telah besar rumahnya, rangkap mobilnya tapi cuma membeli koran jika kebetulan ia tengah memasang iklan.

Jangankan pedagang, bahkan seorang pejabat pun bisa mengaku tenang-tenang saja meskipun berita buruk tentang dirinya bertebaran di koran-koran. “Memangnya saya baca,” katanya. Bercanda tentu, tetapi selalu ada canda yang mengatakan kejujuran.

BACA JUGA : Kisah Inspirasi dari Orangtua dengan Anak Autistik

Jangankan pejabat, kita semua, apa pun profesi kita, bisa jadi masih menghadapi persoalan yang sama: kebuta-bacaan. Itulah kenapa di Indonesia, buku yang terjual tiga ribu kopi saja sudah termasuk buku laris. Karena jika sejumlah tiga ribu dari dua ratusan juta lebih penduduk telah kedapatan membeli buku yang sama, angka ini telah dianggap mengherankan. Itulah kenapa menjadi penulis di Indonesia belum menjadi profesi yang menggoda karena popularitasnya dianggap tidak seimbang dengan duitnya.

Jadi, membebani para pemulung itu untuk memiliki minat baca, bahkan untuk membaca larangan bagi diri sendiri sekalipun adalah usaha yang hampir percuma. Pertama, kita tidak pernah mendata, apakah kita menulis untuk orang yang telah mengerti baca tulis. Kedua, apakah orang yang sudah berkemampuan baca tulis itu memiliki mental membaca. Karena menyangkut soal membaca, kita memang harus percaya setidaknya pada tiga rumusan berikut.

BACA JUGA : Terima Kasih Papa T Bob, Nadamu Menemani Kami Tumbuh

Pertama, ada orang yang telah bisa membaca sekaligus memiliki mental membaca. Kedua, orang yang buta huruf sekaligus memiliki mental seorang buta huruf. Dan, ketiga adalah orang yang sebenarnya telah melek huruf tapi tetap bermental buta huruf. Kita khawatir, jika tempat kita ada di posisi ketiga!

Artikel ini dikutip dari tulisan Prie GS dalam kolom “Pemulung Dilarang Masuk” dengan sedikit perubahan tanpa perubahan substansi.




Post a Comment

0 Comments