Subscribe Us

Nalar Kritis

“Sebuah sikap sepihak yang hanya bersifat menghukum tetapi tidak mengerti sebab-sebab sebuah “kejahatan” dilakukan hanya akan melahirkan rangkaian kejahatan yang tidak berkeputusan”
(KH. Abdurrahman Wahid, 2004)


Kritis, sebuah kata yang terlalu populer untuk disosialisasikan, namun patut untuk direfleksikan. Keberadaannya selalu memberikan varian tersendiri dalam setiap forum-forum diskusi, pelatihan, work shop, seminar sampai forum guyonan di parkiran. Kritis seakan menjadi perangsang bagi setiap insan untuk menuju sebuah impian mulia yang disebut dengan “perubahan”. Tidak kritis berarti anti perubahan, orang yang anti perubahan akan dijadikan musuh bersama, dia akan dihujani dengan hinaan, cacian, umpatan, makian yang dibungkus dengan term kritis.

Nalar kritis pada dasarnya merupakan sifat alami manusia yang sudah dimiliki sejak kecil seiring dengan didapatnya kemampuan untuk berkomunikasi baik secara oral maupun isyarat. Ketika anak kecil mengadu kepada sang ibu akan tindakan orang lain yang baginya aneh, nyeleneh dan asing adalah embrio dari nalar kritis. Superioritas dan egoisme telah mulai tumbuh pada masa-masa ini. Hal ini berkembang dengan memberikan komentar bahkan penilaian terhadap berbagai fenomena yang ada diluar diriya. Tidak adanya kontrol akan superioritas dan egoisme akan melahirkan keangkuhan, kecongkakan dan kesombongan. Diri sendiri kemudian dinobatkan sebagai sang maha benar. Ghibah, namimah, nggruna’i adalah salah beberapa bentuk dari kekritisan seseorang terhadap orang lain, hal ini nampaknya selalu ada dalam diri tiap insan, oleh karena itu nalar kritis tidak perlu ditumbuhkan namun perlu di arahkan pada hal-hal yang konstruktif.

Fenomena semacam ini nampaknya telah menjadi syindrom akut yang teralu sulit penyembuhannya. Sudah saatnya membudayakan nalar pikir yang obyektif dalam melihat dan menilai segala sesuatu. Harus ada keseimbangan cara pandang dan tidak berat sebelah agar obyektifitas dapat terwujud.

Kesempurnaan dalam hidup nampaknya memang tidak ada, manusia sebagai salah satu mahluk telah didesain oleh Sang Pencipta dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Dengan adanya kelebihan dan kekurangan itulah kemudian antara satu dengan yang lain ada hubungan yang saling membutuhkan. Berdasar pada hal ini maka sekritis apapun seseorang, belum tentu dia lebih baik dari orang yang dihujani kritik. Setiap orang berhak melontarkan kritik, namun pada saat yang sama harus sportif menerima berbagai kritikan.

Seringkali sikap kritis berdasar pada ahistirositas, kebencian, dendam, amarah dan tak jarang terjebak dalam distorsi fakta. Kritis bukanlah aktifitas mengorek kekurangan namun kritis adalah melacak kebenaran secara mendalam, obyektif dan tidak sepihak. Hal ini menjadi urgen untuk diinternalisasikan agar tidak terjebak dalam perang fitnah dan adu dombaisme. Semoga kita termasuk orang yang dilindungi dari berbagai fitnah yang distortif, hegemonik dan membodohkan.


Post a Comment

0 Comments